<div> Hari Raya Kuningan jatuh setiap 210 hari sekali atau 6 bulan dalam perhitungan kalender bali, berbicara hari raya Kuningan tentu tidak bisa kita lepaskan dengan sarana tamiang yang menjadi salah satu ciri khas perayaan kuningan, sebagai orang Bali atau Hindu Bali wajib mengetahui latar belakang dan makna sarana upacara ini untuk menjaga warisan budaya agar tidak <em>Gugon tuon (Anak mula keto)</em></div> <div>  </div> <div> Kata tamiang mengingatkan pada tameng, sebentuk alat perisai yang lazim digunakan dalam perang. Saat Kuningan, tamiang dipasang di pojok-pojok rumah dan di palingih-palinggih (bangunan suci).Tamiang kerap dimaknai sebagai simbol perlindungan diri. Tamiang, jika melihat bentuknya yang bulat, juga sering dipahami sebagai lambang Dewata Nawa Sanga yang menjadi penguasa sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam atau cakraning panggilingan yang merujuk pada pemahaman tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran roda. </div> <div>  </div> <div> Sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang ini memang sarat makna. Namun, pertanyaan yang kerap mengemuka, mengapa hari raya Kuningan diwarnai dengan sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang? </div> <div>  </div> <div> Bukan hanya hari Kuningan yang diwarnai dengan sarana yang merujuk pada perlengkapan perang. Hari Galungan yang dirayakan sepuluh hari sebelumnya juga sarat dengan simbol-simbol peperangan. Pemakanaan Galungan sebagai hari kemenangan atau hari kemenangan perang menegaskan hal itu. Pemasangan penjor juga merujuk pada simbol dipancangkannya panji-panji kemenangan. </div> <div>  </div> <div> Hari raya memang dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan manusia tentang hakikat jati dirinya sebagai manusia sekaligus memahami hakikat kehadirannya dalam hidup dan kehidupan. </div> <div>  </div> <div> Hidup pada hakiktanya memang sebuah peperangan. Sepanjang hidupnya, manusia tiada henti berhadapan sebuah peperangan panjang. Sejarah umat manusia pun, jika diselami, lebih dalam sejatinya adalah sejarah perang. </div> <div>  </div> <div> Bagi manusia Bali, perang dalam kehidupan berwujud perang fisik di bhuwana agung (alam makrokosmos) maupun perang batin di bhuwana alit (alamt mikrokosmos). Justru, perang batin yang berkecamuk dalam hati itulah perang terbesar, terhebat dan terdahsyat. Inilah perang yang tidak pernah berhenti dan bahkan lebih sering menghadirkan kekalahan bagi manusia. </div> <div>  </div> <div> Dalam konteks perang batin, manusia mesti membentengi diri dengan tamiang (tameng) yang tiada lain berupa pengendalian diri (indria). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan hakikat dan jati diri sang Diri (uning ‘tahu’ atau eling ‘sadar’). Mungkin itu sebabnya yang mendasari lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan, manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya. </div> <div>  </div> <div> Jadi tamiang bukan hanya sekedar hiasan semata, melainkan banyak nilai dan makna yang perlu diketahui dan dipahami, sehingga mampu menjaga dan melestarikan budaya yang sudah diwariskan oleh para tetua kita zaman dulu untuk kita wariskan kembali kepada anak cucu kita nanti…. </div> <div>  </div> <div> dihimpun dari sumber:</div> <div> http://wiracaritabali.blogspot.com</div>
Wajib Tahu, Makna Tamiang Yang Sering Kita Temui Saat Kuningan
08 Jun 2018